Allah telah memuliakan beberapa hari, malam, dan bulan atas sebagian yang lainnya. Semua ini sesuai dengan hikmah ilahiyah yang sangat dalam. Tujuannya, agar para hamba lebih giat melaksanakan kebaikan dan memperbanyak amal shalih di dalamnya. Tetapi, syetan dari jenis manusia dan jin senantiasa berusaha menghalangi mereka dari jalan yang lurus dan mengintai mereka dari segala penjuru agar tidak jadi melaksanakan kebaikan-kebaikan. Syetan juga menipu umat manusia dengan menanamkan keyakinan bahwa saat-saat yang utama dan penuh rahmat tersebut adalah kesempatan mereka untuk berleha-leha dan bersantai serta menuruti nafsu dan syahwat.
Syetan juga menggoda kelompok yang lain -biasanya dari kalangan juhal yang terlihat agamis, para pemimpin, dan tokoh masyrakat- dengan ditakut-takuti akan kehilangan kesempatan memperoleh pahala yang besar sehingga mereka berlomba-lomba menciptakan ibadah baru (bid'ah) yang tidak pernah Allah turunkan perintah tentangnya.
Hassan bin 'Athiyah berkata, "Tidaklah suatu kaum membuat kebid'ahan dalam agama mereka kecuali Allah mencabut perkara sunnah dari mereka yang semisal, dan tidak akan mengembalikannya kepada mereka hingga hari kiamat." (Al-Hilyah: 6/73)
Bahkan Ayyub Al-Syakhtiyani mengatakan, "Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)
Di antara perkara yang paling nampak dari kebid'ahan dari musim tersebut adalah perbuatan bid'ah yang telah dikerjakan oleh sebagian ahli ibadah di pelosok negeri pada bulan Rajab. Berikut ini kami tampilkan beberapa persoalan yang sudah diperbincangkan para ulama untuk mengingatkan umat dari mengada-adakan perkara baru dalam berislam.
"Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)
Apakah Rajab memiliki keutamaan khusus dibandingkan bulan lainnya?
Ibnul Hajar rahimahullah berkata, "Tidak ada hadits shahih yang bisa dijadikan hujjah (argument) untuk menunjukkan keutamaan bulan Rajab baik dengan puasanya, berpuasa pada hari-hari tertentu daripadanya dan qiyamullail yang khusus di dalamnya. Telah ada orang yang mendahuluiku dalam memastikan hal itu yaitu Imam Abu Ismail Al-Harawi al-Haafidz, kami telah meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, begitu juga kami telah meriwayatkan pula dari yang selainnya." (Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab, Ibnul Hajar, hal. 6. Lihat pula Al-Sunan al-Mubtadi'aat, Imam al-Syuqairi, hal. 125)
Beliau berkata lagi, "Adapun hadits yang menerangkan tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. . . " (Al-Tabyiin, hal. 8)
Adapun hadits yang menerangkan tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. .
Shalat Raghaib
Terdapat satu riwayat dari Anas, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menerangkan sifat shalat Raghaib, hanya saja status riwayat tersebut maudhu' (palsu). Ringkas dari riwayat tersebut sebagai berikut:
"Tidak ada seorang pun yang berpuasa pada hari Kamis (yakni Kamis pertama dari bulan Rajab) lalu shalat antara Isya' dan pertengahan malam, yakni pada malam Jum'at sebanyak 12 rakaat, pada setiap rakaatnya dia membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadar 3 kali, dan surat Al-Ikhlash sebanyak dua belas kali; dia memutus setiap dua rakaat dengan salam. Dan apabila selesai dari shalatnya dia membaca shalawat atasku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) 70 kali, lalu membaca dalam sujudnya,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ
"Engkau Dzat yang Mahasuci (dari kekurangan dan hal tidak layak bagi kebesaran-Mu), Mahaagung, Rabb para malaikat dan Jibril."
Lalu mengangkat kepalanya dan membaca sebanyak 70 kali,
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزَ عَمَّا تَعْلَمُ، إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْأَعْظَمُ
Lalu sujud untuk yang kedua kalinya sambil membaca seperti yang dibaca pada sujud pertama, kemudian dia meminta hajatnya kepada Allah, pasti hajatnya akan dikabulkan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah satu orang atau satu umat yang shalat dengan shalat ini kecuali Allah akan mengampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung, sebanyak daun pepohonan, dan di hari kiamat dia mendapat hak untuk memberikan syafaat bagi 700 orang dari keluarganya yang seharusnya masuk ke dalam neraka." (Lihat: Ihya' Ulumid Dien, oleh Imam Al-Ghazali: 1/202 dan Tabyin al-'Ajab, Ibnul Hajar, hal. 22 dan 24)
Para ulama telah membicarakan tentang shalat Raghaib tersebut. Seperti Imam al-Nawawi rahimahullah yang menyebutkannya sebagai perkara bid'ah yang buruk dan sangat munkar, karenanya wajib ditinggalkan dan dijauhi, sedangkan pelakunya wajib diingkari." (Fatawa al-Imam al-Nawawi, hal. 57)
Ibnu Nuhaas rahimahullah berkata, "Dia adalah bid'ah, hadits yang menerangkannya adalah maudlu' (palsu) berdasarkan kesepakat ulama ahli hadits." (Tambih al-Ghafilin, hal. 497)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. Sungguh telah disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk menghususkan malam Jum'at dengan shalat malam dan pagi harinya dengan berpuasa. Sedangkan atsar yang menyebutkan tentangnya adalah dusta dan palsu dengan kesepakatan ulama, dan tiadak seorangpun dari ulama salaf dan para imam yang menyebutkan dasarnya." (Majmu' Fatawa Libni Taimiyyah: 23/132, 134, dan 135)
Imam al-Thurthusyi telah menyebutkan awal munculnya shalat ini, sebagaimana yang beliau sandarkan kepada Abu Muhammad al-Maqdisi, bahwa pada awalnya di Baitul Maqdis tidak didapati shalat model ini (shalat Raghaib) yang dikerjakan pada bulan Rajab dan Sya'ban. Perkara ini pertama kali terjadi pada tahun 448 Hijriyah. Pada saat itu ada seorang laki-laki yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamra' yang memiliki bacaan bagus. Dia shalat di Masjid al-Aqsha pada malam nisfu Sya'ban . . . sampai ucapan dari Abu Muhammad, "Adapun shalat Rajab tidak didapati di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah, yang sebelum itu kami tidak pernah melihat dan mendengar di sana." (Al-Haqadits wa al-Bida': hal. 103)
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'aat, Al-Hafidz Abul Khuthab, Abu Syamah, Ibnul Haajj, Ibnu Rajab, dan yang lainnya telah memastikan kemaudhu'an (palsunya) riwayat tentang shalat Raghaib. (Lihat Al-Baa'its 'ala Inkaril Bida' wal Hawadits, hal. 61, 62, 105; Lathaif al-Ma'arif, hal. 228 dan lainnya)
Walau demikian, banyak para tokoh dan pemimpin muslim yang tetap melestarikan ibadah bid'ah ini dengan alasan untuk menjaga perasaan orang awam dan supaya mereka tetap mau meramaikan masjidnya. Padahal siapa yang meyakini keabsahan shalat ini atau menganjurkannya maka dia telah menipu orang awam yang seharusnya dia beri petunjuk tentang hakikat yang sebenarnya dan juga telah berlaku mendustakan syariat.
Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. (Ibnu Taimiyah)
Isra' dan Mi'raj
Di antara Mu'jizat yang dialami Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah di-Isra'kannya beliau dari masjidl Haram menuju masjid al-Aqsha, kemudian di-Mi'rajkan menuju langit ke tujuh. Hampir di seluruh negeri muslim, terdapat perayaan peringatan malam Isra'-Mi'raj yang dilaksanakan pada malam ke-27 dari bulan Rajab, padahal peristiwa Isra' Mi'raj tidaklah terjadi pada malam tersebut.
Ibnul Hajar berkata, "Sebagian ahli kisah menuturkan peristiwa Isra' terjadi pada bulan Rajab." Beliau berkata, "Dan itu bohong," (Tabyin al-Ajab, hal. 6). Ibnu Rajab berkata, "Telah diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih, dari al-Qasim bin Muhammad bahwa Isranya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi pada tanggal 27 Rajab, dan (kesimpulan ini) telah diingkari oleh Ibrahim al Harbi dan lainnya." (Zaad al-Ma'ad, Ibnul Qayyim: 1/275)
Ibnul Hajar telah menyebutkan dalam Fathul Baari (7/242-243) beberapa pendapat tentang bulan terjadinya Mi'raj: Rajab, Rabi'ul Awal, Ramadlan, atau Syawal.
Ibnu Taimiyah juga pernah menyebutkan bahwa tidak ada dalil pasti yang menerangkan tentang bulannya dan tanggalnya. Pendapat dalam hal itu sangat banyak dan beragam, tidak ada yang dikuatkan. (Lihat Lathaif al-Ma'ruf, Ibnu Rajab, hal. 233)
Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj, maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan perilaku tertentu. Sebabnya, karena tidak ada keterangan bahwa Nabi, atau para sahabat, atau Tabi'in mengistimewakan malam tersebut atas yang lainnya. Apalagi dengan mengadakan perayaan untuk memperingatinya, padahal perayaan tersebut termasuk bid'ah yang munkar.
Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj, maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan perilaku tertentu.
Menyembelih di bulan Rajab
Pada dasarnya, menyembelih hewan untuk Allah pada bulan Rajab secara umum tidak dilarang, sebagaimana menyembelih pada bulan selainnya. Tapi, orang-orang jahiliyah biasa melakukan korban (penyembelihan) yang disebut dengan 'Athirah. Karenanya para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, namun mayoritas mereka menyatakan bah hal itu telah dibatalkan oleh Islam berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam Shahihain, dari Abu Hurairah radliyallah 'anhu, "Tidak ada Fara' (anak pertama dari unta atau kambing yang disembelih sebagai persembahan bagi berhala) dan 'Athirah (hewan yang disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab sebagai persembahan bagi berhala, juga dikenal dengan Rajabiyah)."
Sebagian yang lain berpendapat tetap menggapnya sebagai sunnah. Dasarnya, beberapa hadits yang menunjukkan dibolehkannya. Hal ini dijawab, bahwa hadits Abu Hurairah radliyallah 'anhu lebih shahih dan kuat, maka ia yang lebih layak diamalkan. Bahkan ada sebagian ulama, seperti Ibnul Mundzir menyatakan hadits-hadits tersebut telah dinaskh (dihapus), karena masuk Islamnya Abu Hurairah yang belakangan. Maka dibolehkannya menyembelih hewan dalam rangka ta'abbudan (ibadah) pada awal Islam, lalu dinaskh, dan ini adalah pendapat yang lebih rajih. (Lihat Lathaif al-Ma'arif, hal. 227 dan Al-I'tibaar fin Naasikh wal Mansukh minal Atsar, Imam Al-Hazimi, hal. 388-390)
Imam Al-Hasan al-Bashri berkata, "Di dalam Islam tidak ada 'Athirah, sesungguhnya 'Athirah pada zaman jahiliyah, salah seorang mereka berpuasa dan ber'Athirah." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)
Ibnu Rajab menyerupakan penyembelihan di bulan Rajab dengan mengadakan hari tertentu dari bulan Rajab untuk berpesta dengan makan manisan dan semisalnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma, dia tidak suka Rajab dijadikan hari raya." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)
Menghususkan puasa dan i'tikaf di bulan Rajab
Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 228)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai hadits-hadits tentang kekhususan berpuasa di bulan Rajab, “Seluruh hadits-haditsnya lemah, bahkan maudlu' (palsu), tidak ada seorang ulama pun yang bersandar padanya. Hadits-hadits tentang keutamaanya bukan saja dhaif tapi umumnya termasuk maudlu' dan dusta." . . Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, dari Ibnu Majah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau melarang puasa di bulan Rajab, namun dalam isnadnya masih perlu diteliti. Tapi terdapat riwayat shahih bahwa Umar bin Khathab pernah memukul tangan manusia agar mengambil makanan pada bulan Rajab dan berkata, "Jangan kalian serupakan dengan Ramadlan . . sedangkan menghususkan I'tikaf pada tiga bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadlan saya tidak mengetahui ada perintahnya. Tapi siapa berpuasa yang masyru' dan ingin beri'tikaf dalam puasanya itu, boleh-boleh saja. Dan jika beri'tikaf tanpa puasa terdapat dua pendapat yang masyhur menurut ahli ilmu." (Majmu' Fatawa: 25/290-292)
Puasa yang dilarang di bulan Rajab
Memang tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan puasa khusus bulan Rajab. Namun bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah sama sekali di dalamnya, padahal banyak nash-nash secara umum yang menyebutkan adanya puasa sunnah baik di bulan Rajab atau lainnya; misalnya, puasa Senin-Kamis, tiga hari setiap bulan, puasa Dawud (sehari puasa-sehari tidak). Sesungguhnya puasa yang dimakruhkan, menurut Al-Thurthusi adalah puasa dalam tiga bentuk berikut:
1. Apabila kaum muslimin menghususkan puasa setiap tahunnya, seperti yang banyak dilakukan oleh kalangan awam dan jahil terhadap syari'ah, sehingga terkesan seolah-olah hukumnya fardlu sebagaimana puasa Ramadlan.
2. Diyakini bahwa puasa tersebut hukumnya sunnah dan sangat-sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana shalat sunnah rawatib.
3. Diyakini puasa di dalamnya akan mendapat pahala besar dan fadhilah yang agung daripada puasa di bulan selainnya. Keutamaan puasa ini diyakini seperti puasa Asyura, seperti keutamaan shalat di akhir malam daripada awalnya. Dalam hal ini masuk wilayah fadhail (keutamaan) bukan wilayah sunnah atau wajib. Kalau seandainya benar seperti itu, pastinya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjelaskannya atau melaksanakannya walau sekali dalam hidupnya, namun jika tidak pernah melaksanakannya, maka batallah keyakinan yang memiliki keutamaan khusus.
Tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan puasa khusus bulan Rajab. Namun bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah sama sekali di dalamnya, . .
Umrah di bulan Rajab
Sebagain orang sangat bersemangat melakukan umrah pada bulan Rajab dengan keyakinan bahwa umrah pada bulan itu memiliki keistimewaan yang lebih. Keyakinan ini tidak memiliki dasar dalil. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma, berkata: "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan umrah sebanyak empat kali, salah satunya di bulan Rajab." Maka Aisyah berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR. Bukhari dalam Shahihnya no. 1776)
Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah sepakat dengan Ibnu Umar tentang jumlah umrahnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu empat kali. Namun beliau tidak sepakat dengan Ibnu Umar tentang penetapan bulan umrahnya shallallahu 'alaihi wasallam. Aisyah menganggap Ibnu Umar lupa, karenanya beliau radliyallah 'anha menyatakan bahwa Ibnu Umar senantiasa ikut serta menemani Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam umrahnya, namun beliau tidak pernah berumrah pada bulan Rajab.
Ibnul 'Aththar berkata, "Kabar yang sampai kepadaku tentang penduduk Makkah (semoga Allah menambah kemuliaan Makkah) tentang kebiasaan mereka memperbanyak (menyeringkan) umrah pada bulan Rajab, dan kebiasaan ini adalah persoalan yang saya tidak mengetahui dasar (dalil)nya." (Al-Musajalah Baina Al-'Izz bin Abdissalam wa Ibnus Shalah, hal. 56. Lihta juga : Fatawa al-Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 6/131)
Al-Allamah Ibnu Bazz (dalam Fatawa Islamiyah, dikoleksi Prof. Muhammad: 2/303-304) menuturkan tentang waktu yang paling afdhal untuk melaksanakan umrah: Bulan Ramadlan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Umrah di Bulan Ramadlan menyamai haji," setelah itu, Umrah di bulan Dzul Qa'dah, karena seluruh umrah beliau shallallahu 'alaihi wasallam dilaksanakan pada bulan Dzul Qa'dah. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)
"Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR. Bukhari dari perkataan Aisyah)
Zakat di bulan Rajab
Sebagain penduduk negeri menjadikan bulan Rajab sebagai waktu mengeluarkan zakat. Ibnu Rajab berkata, "Tidak ada dasar untuk masalah itu dalam sunnah dan tidak diketahui dari salah seorang salaf. . . pada prinsipnya: zakat wajib dikeluarkan apabila sudah sempurna haul dan cukup nishab. Setiap orang memiliki haul yang khusus (tersendiri) sesuai waktu dia memiliki nishab harta. Jika sempurna haulnya, wajib mengeluarkan zakatnya pada bulan apa saja." Kemudian beliau menyebutkan bolehnya menyegerakan zakat pada waktu yang mulia seperti Ramadlan, . . . " (Lathaif al-Ma'arif: 231-232)
Tidak ada peristiwa besar pada bulan Rajab
Ibnu Rajab berkata, "Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab terjadi beberapa peristiwa besar, padahal tidak ada keterangan yang shahih tentang hal itu. Telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada malam pertama dari bulan tersebut, beliau diutus pada tanggal 27-nya, dan ada pendapat pada tanggal 25-nya, padahal riwayat tentang itu tidak ada yang shahih." (Lathaif al-Ma'arif: 233)
Nasihat untuk para dai
Pada hari ini banyak dai yang melestarikan beberapa perkara bid'ah musiman, seperti bid'ah di bulan Rajab. Sebenarnya sebagian mereka tahu perkara itu tidak disyariatkan, namun dengan alasan takut orang-orang tidak sibuk dengan ibadah kalau perkara bid'ah itu ditinggalkan, maka perkara bid'ah itu terus dilestarikan. Padahal perkara bid'ah adalah dosa yang paling berbahaya sesudah syirik. Ditambah cara dakwah dan metode merubah sangat berbahaya, menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Wajib bagi seorang da'i untuk menyeru manusia hanya kepada sunnah yang tanpanya istiqamah tidak bisa tegak.
. . Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah. . .
Sufyan al-Tsauri berkata, "Para Fuqaha' berkata, "Perkataan tidak bisa tegak tanpa amal. Perkataan dan amal tidak bisa tegak tanpa niat. Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa tegak kecuali sesuai dengan sunnah." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/333)
Wajib bagi mereka untuk mempelajari sunnah dan mengajarkannya serta menyeru dirinya dan orang di sekitarnya untuk menerapkannya, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang menjalankan satu amalan (ibadah) yang tidak ada perintahnya dari kami, maka dia tertolak." (Muttafaq 'alaih)
Abul 'Aliyah pernah berkata kepada murid-muridnya, "Pelajarilah Islam, jika kalian sudah mempelajarinya jangan benci kepadanya. Dan tetaplah di atas shiratal mustaqim (jalan yang lurus), sesungguhnya shiratahl mustaqim adalah Islam. Jangan menyimpang dari shiratal mustaqim, baik ke kanan maupun ke kiri. Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah: 1/338)
. . .Peganglah sunnah Nabi kalian dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini yang menyebabkan kebencian dan permusuhan di antara para pelakunya. . .
Terakhir, para du'at hari ini dan segenap umat Islam dituntut untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam semata dalam setiap perkaranya secara sempurna sebagaimana dituntut untuk mengikhlaskan amal semata-mata LILLAH TA'ALA. Hal ini menjadi syarat mutlak jika mereka mengharapkan keselamatan, keberuntungan, kemuliaan dan mendapatkan pertolongan Allah 'Azza wa Jalla.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. Al-Hajj: 40)
• Diterjemahkan (dengan sedikit penambahan) oleh Purnomo WD, dari Artikel Fadhail Syahri Rajaba Fi al-Miizaan, Faishal bin Ali Bu'dani.